1.
|
Berapa
rencana kenaikan iuran JKN?
|
|
Kenaikan iuran JKN
direncanakan untuk seluruh segmen peserta BPJS:
|
|
a.
|
Penerima
Bantuan Iuran (PBI), iuran naik dari Rp23.000 menjadi Rp. 42.000
per jiwa. Besaran iuran ini juga berlaku bagi Peserta yang didaftarkan oleh
Pemda (PBI APBD). Iuran PBI dibayar penuh oleh APBN, sedangkan Peserta
didaftarkan oleh Pemda (PBI APBD) dibayar penuh oleh APBD
|
|
b.
|
Pekerja
Penerima Upah Pemerintah (PPU-P), yang terdiri dari ASN/TNI/POLRI, semula
besaran iuran adalah 5% dari gaji pokok dan tunjangan keluarga, dimana
3% ditanggung oleh Pemerintah dan 2% ditanggung oleh
ASN/TNI/POLRI yang bersangkutan, diubah menjadi 5% dari gaji pokok,
tunjangan keluarga, tunjangan jabatan atau tunjangan umum, tunjangan profesi,
dan tunjangan kinerja atau tambahan penghasilan bagi PNS Daerah, dengan batas
sebesar Rp12 juta, dimana 4% ditanggung oleh Pemerintah dan 1%
ditanggung oleh ASN/TNI/POLRI yang bersangkutan.
|
|
c.
|
Pekerja
Penerima Upah Badan Usaha (PPU-BU), semula 5% dari total upah dengan batas
atas upah sebesar Rp8 juta, dimana 4% ditanggung oleh Pemberi Kerja
dan 1% ditanggung oleh Pekerja, diubah menjadi 5% dari total upah dengan
batas atas upah sebesar Rp12 juta, dimana 4% ditanggung oleh Pemberi
Kerja dan 1% ditanggung oleh Pekerja
|
|
d.
|
Peserta
Bukan Penerima Upah (PBPU) / Peserta Mandiri:
Kelas 3: naik dari Rp25.500 menjadi Rp42.000 per jiwa;
Kelas 2: naik dari Rp51.000 menjadi Rp110.000 per jiwa;
Kelas 1: naik dari Rp80.000 menjadi Rp160.000 per jiwa
|
2.
|
Siapa yang
mengusulkan kenaikan iuran BPJS?
|
|
Sesuai UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional, Pasal 7 ayat (3), Dewan Jaminan
Sosial Nasional (DJSN) mengusulkan anggaran jaminan sosial
bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI)
kepada Pemerintah. Dalam prakteknya, selain PBI, DJSN juga mengajukan usulan
besaran iuran untuk segmen kepesertaan yang lain, baik bagi PPU-P, PPU-BU,
maupun PBPU.
|
|
Rencana
kenaikan iuran selanjutnya dibahas bersama oleh lembaga-lembaga terkait,
termasuk Kemenko PMK, Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan DJSN,
yang kemudian ditetapkan dengan Peraturan Presiden (Perpres).
|
|
Pemerintah
mempertimbangkan 3 hal utama dalam menetapkan iuran, yaitu kemampuan peserta
dalam membayar iuran (ability to
pay), upaya memperbaiki keseluruhan sistem Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN), serta gotong royong antarsegmen kepesertaan.
|
3
|
Kenapa
iuran BPJS harus naik?
|
|
Sejak
tahun 2014, program JKN terus mengalami defisit. Besaran defisit JKN sebelum
memperhitungkan intervensi Pemerintah masing-masing sebesar Rp1,9 triliun
(2014), Rp9,4 triliun (2015), Rp 6,7 triliun (2016), Rp13,8 triliun (2017),
dan Rp19,4 triliun (2018).
|
|
Dalam
rangka membantu mengatasi defisit ini, Pemerintah melakukan intervensi dengan
memberikan Penanaman Modal Negara (PMN) sebesar Rp5 triliun (pada tahun 2015)
dan Rp6,8 triliun (2016), serta memberikan bantuan belanja APBN sebesar Rp3,6
triliun (2017) dan Rp10,3 triliun (2018).
|
|
Intervensi
Pemerintah dalam bentuk PMN maupun bantuan belanja APBN itu sendiri belum dapat
menutup keseluruhan defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan, sehingga
masih menyisakan defisit sebesar Rp1,9 triliun (2014), Rp4,4 triliun (2015),
Rp10,2 triliun (2017), dan Rp9,1 triliun (2018).
|
|
Tanpa
kenaikan iuran, besaran defisit DJS Kesehatan akan terus naik, diperkirakan
akan mencapai Rp32 triliun di tahun 2019, Rp44 triliun (2020), Rp56 triliun
(2021), dan Rp65 triliun (2022).
|
|
Dengan
perkembangan kondisi keuangan DJS Kesehatan seperti di atas, kenaikan iuran
sangat diperlukan dalam rangka menjaga keberlangsungan program JKN. Tentu
saja, dalam rangka menjaga keberlangsungan program JKN, disamping kenaikan
iuran, juga diperlukan perbaikan sistem JKN secara menyeluruh.
|
|
Jangan
sampai program JKN yang manfaatnya telah dirasakan oleh sebagian besar
penduduk Indonesia terganggu keberlangsungannya. Selama tahun 2018, total
pemanfaatan layanan kesehatan melalui JKN mencapai 233,9 juta layanan, yang
terdiri dari 147,4 juta layanan pada Fasilitas Kesehatan Tahap Pertama
(FKTP), 76,8 juta layanan rawat jalan RS, dan 9,7 juta layanan rawat inap RS.
Secara rata-rata, jumlah layanan kesehatan melalui JKN mencapai 640.822
layanan setiap hari.
|
4
|
Bagaimana Program
JKN bisa mengalami defisit?
|
|
Penyebab
utama terjadinya defisit adalah besaran iuran yang underpriced dan adverse selection pada
PBPU/peserta mandiri.
|
|
Banyak
PBPU/peserta mandiri yang hanya mendaftar pada saat sakit dan memerlukan
layanan kesehatan yang berbiaya mahal, namun setelah sembuh berhenti membayar
iuran. Banyak PBPU/peserta mandiri yang tidak disiplin membayar iuran. Pada
akhir tahun anggaran 2018, tingkat keaktifan PBPU/peserta mandiri hanya 53,7
persen. Sejak 2016 sampai dengan 2018, besar tunggakan PBPU/peserta mandiri
ini mencapai sekitar Rp15 triliun.
|
|
Claim
ratio
PBPU/peserta mandiri pada 2018 mencapai 313%. Total klaim PBPU/peserta
mandiri mencapai Rp27,9 triliun sementara total iuran yang dikumpulkan hanya
Rp8,9 triliun.
|
|
Disamping
kedua penyebab utama ini, tentu juga terdapat faktor-faktor yang lain, seperti
inefisiensi layanan, belum sempurnanya manajemen klaim, serta belum
sempurnanya strategic purchasing. Oleh
karena itu, dalam rangka menjaga keberlangsungan program JKN, perbaikan pada
keseluruhan sistem JKN ini akan dilakukan oleh BPJS Kesehatan serta lembaga-lembaga
terkait.
|
5.
|
Bagaimana
jika peserta tidak mampu membayar iuran yang naik signifikan, mencapai 100%?
|
|
Kenaikan 100% hanya berlaku untuk
PBPU/peserta mandiri Kelas 1 dan Kelas 2. Untuk kelas 3, iuran hanya naik
sebesar 65% menjadi Rp42.000. Jika merasa tidak mampu membayar kenaikan
iuran, peserta Kelas 1 dan Kelas 2 dapat melakukan penurunan Kelas, dari
Kelas 1 menjadi Kelas 2 atau Kelas 3; atau dari Kelas 2 menjadi Kelas 3.
Untuk Kelas 3 yang merasa tidak mampu dengan besaran iuran ini, dan nyata-nyata
tidak mampu, dapat dimasukkan ke dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial
(DTKS), sehingga berhak untuk masuk PBI (Penerima Bantuan Iuran) yang
iurannya dibayarkan oleh Pemerintah
|
6.
|
Pemerintah
membiayai 134 juta Penerima Bantuan Iuran (PBI). Apakah jumlah penduduk
miskin di Indonesia mencapai 134 Juta?
|
|
Sesuai
data BPS, per Maret 2019, persentase penduduk miskin adalah sebesar 9,41
persen, atau 25,14 juta orang.
|
|
Penduduk
yang dimasukkan ke dalam kepesertaan Penerima Bantuan iuran (PBI) tidak hanya
penduduk miskin sesuai perhitungan BPS itu.
|
|
Secara
internasional, jaminan sosial lazimnya diberikan kepada 40% penduduk yang
memiliki penghasilan terendah, bukan hanya yang masuk dalam kategori penduduk
miskin. Indonesia mengadopsi hal tersebut, yang dituangkan dalam RPJMN.
Dengan pendekatan tersebut, sebetulnya PBI dapat diberikan kepada hingga 107
juta jiwa (dengan asumsi penduduk Indonesia saat ini 269 juta jiwa).
|
|
Adapun
kepesertaan Penduduk yang didaftarkan oleh Pemda (PBI APBD) yang iurannya
dibayarkan oleh Pemda, yang saat ini mencapai sekitar 37 juta jiwa, merupakan
bentuk dukungan Pemda dalam rangka mencapai Universal
Health Coverage (UHC).
|
7.
|
Bagaimana
dampak penyesuaian iuran JKN terhadap Pekerja dan Pemberi Kerja?
|
|
Tidak ada
kenaikan iuran untuk PPU BU atau segmen Pekerja yang upah/gajinya di bawah
Rp8 juta per bulan. Penyesuaian iuran hanya dikenakan pada segmen pekerja
yang gajinya di atas Rp8 juta per bulan. Itupun karena penyesuaian batas atas
upah yang semula maksimal Rp8 juta, menjadi maksimal Rp12 juta.
|
|
Proporsi
pembagian beban iuran antara Pekerja/buruh dan Pemberi Kerja/pengusaha tetap
seperti semula, yaitu 1% dari upah menjadi beban Pekerja/buruh dan 4% dari
upah menjadi beban Pemberi Kerja/pengusaha.
|
8.
|
Apakah kenaikan
iuran akan diiringi dengan peningkatan mutu layanan kesehatan bagi
masyarakat?
|
|
Tentunya
demikian. Peningkatan mutu layanan kesehatan adalah hal yang harus dilakukan
secara terus-menerus. Semua pihak punya andil besar untuk mewujudkannya. Ini
adalah tugas besar yang harus dijalankan bersama oleh semua pihak, baik
Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, Pemda, maupun Fasilitas Kesehatan.
|
9.
|
Kenaikan
iuran harus dibarengi dengan perbaikan sistem JKN secara keseluruhan. Hal itu
mencakup apa saja?
|
|
Dalam
rangka mencapai sustainability program
JKN, diperlukan perbaikan menyeluruh terhadap program JKN. Mengacu pada hasil
Audit BPKP, BPJS Kesehatan perlu melaksanakan perbaikan pada aspek kepesertaan dan penerimaan iuran,
biaya manfaat jaminan kesehatan,
dan strategic purchasing.
Saat ini, BPJS Kesehatan bersama-sama lembaga terkait dalam proses
menindaklanjuti rekomendasi-rekomendasi BPKP terkait aspek-aspek tersebut.
|
|
Dari aspek
kepesertaan dan penerimaan iuran,
BPJS Kesehatan harus mengefektifkan upaya ekstensifikasi dan intensifikasi
serta kolektibitas iuran, khususnya pada segmen PPU BU dan PBPU. BPJS
Kesehatan juga harus segera mempercepat proses data
cleansing kepesertaan bermasalah dan pemutakhiran data
kepesertaan. Hal ini mengingat bahwa Audit BPKP menemukan masih adanya
permasalahan validitas dan integritas data BPJS Kesehatan. Untuk data cleansing ini, khususnya
bagi PBI, diperlukan peran besar Kemensos dalam
menyediakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
|
|
BPJS
Kesehatan harus bekerjasama dengan stakeholders terkait, seperti Pemda/Dinas Ketenagakerjaan,
dalam meningkatkan kepatuhan Badan Usaha untuk bekerjasama dengan BPJS Kesehatan
dengan mendaftarkan seluruh karyawannya sebagai peserta JKN dan melaporkan
penghasilan karyawannya sesuai dengan yang sebenarnya.
|
|
BPJS
Kesehatan harus berusaha lebih keras untuk meningkatkan tingkat keaktifan
PBPU yang pada akhir tahun 2018 baru mencapai 53,72 persen. Melalui tingkat
keaktifan PBPU yang lebih tinggi ini, diharapkan akan memperbaiki risk-pooling BPJS Kesehatan,
ditandai dengan semakin banyaknya peserta dengan risiko kesehatan yang lebih
rendah.
|
|
Pada aspek
biaya manfaat jaminan kesehatan,
BPJS Kesehatan perlu memperkuat implementasi sistem pencegahan kecurangan.
BPJS Kesehatan harus memastikan rumah
sakit memiliki dan mentaati Standard Operational Procedure
(SOP), Standar Pelayanan Medis (SPM), dan Standar Profesi yang dapat mencegah
terjadinya kecurangan. Rumah
Sakit dan Dinas
Kesehatan juga harus memiliki Tim Pencegahan Fraud serta
Pedoman dan Kebijakan Pencegahan Kecurangan Program JKN.
|
|
BPJS
Kesehatan juga harus memperbaiki manajemen
klaim, dimana BPKP menemukan adanya kasus klaim misreading, klaim upcoding, klaim ganda, klaim
fiktif, klaim oleh peserta dengan status meninggal, maupun klaim oleh bukan
peserta aktif.
|
|
Dari aspek
strategic purchasing, antara lain BPJS Kesehatan
perlu memperhatikan penetapan klasifikasi rumah sakit dan pengelolaan dana
kapitasi. BPJS Kesehatan bersama Kementerian
Kesehatan dan Dinas Kesehatan perlu meninjau kembali
penetapan kelas rumah sakit secara optimal sebagai bahan penyesuaian
perjanjian kerjasama antara BPJS Kesehatan dengan rumah sakit. Dengan demikian,
klasifikasi rumah sakit betul-betul sesuai dengan kriteria yang
dipersyaratkan dalam Permenkes Nomor 56 Tahun 2014 yang mencakup aspek
pelayanan, SDM, dan sarana prasarana.
|
|
BPJS
Kesehatan harus memastikan bahwa pembayaran kapitasi sesuai dengan jumlah
dokter dan jumlah peserta yang dipersyaratkan, serta mengefektifkan penerapan
Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan (KBK). Sementara itu Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri perlu mengevaluasi
peraturan terkait dana kapitasi guna mencegah terjadinya dana kapitasi idle
pada Puskesmas
|
Post a Comment for "9 Hal Terkait Iuran BPJS"